WahanaNews.co Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani menjelaskan persaingan antara negara barat di G7 dan Cina, di tengah kunjungan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Jokowi hari ini telah berada di Jerman karena diundang untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7
itu selama ini berusaha jangan sampai kalah dengan Cina," kata dia saat dihubungi, Senin, 27 Juni 2022.
Baca Juga:
Korem 042/Gapu Gelar Apel Pasukan Pengamanan Kunjungan Kerja Wapres ke Jambi
G7 merupakan kelompok negara-negara maju yang beranggotakan Jerman, Prancis, Kanada, Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat. Uni Eropa juga masuk di dalamnya. Pertama, Evi menjelaskan kalau KTT G7 dilakukan sebelum dimulainya KTT G20.
Sehingga, Jokowi pun diundang ke G7 karena tahun ini Indonesia jadi tuan rumah G20. Maka diharapkan, kata Evi, agenda yang diperjuangkan Indonesia di G20 bisa disetujui oleh G7 dalam kunjungan Jokowi ini.
Sebab, G7 sebagai pendiri G20 dan negara-negara dengan perekonomian paling kuat ini mempunyai suara mayoritas di G20 dibandingkan negara lain. "Jadi kehadiran presiden (di KTT G7) bagus untuk mengamankan agenda G20," kata dia.
Baca Juga:
G7 Sepakat untuk Bangun Dunia Bebas Nuklir
Di sisi lain dalam konteks geopolitik, Evi menyebut sedang terjadi persaingan antara G7 dan Cina saat ini. Selama ini, negara-negara G7 mendominasi ekonomi dan politik dunia pasca perang dunia kedua sampai hari ini. Tapi kemudian muncul Cina dan beberapa negara lain yang tumbuh lebih kuat dibandingkan negara G7.
Evi pun mengingatkan kalau beberapa hari lalu negara-negara berkembang yang tergabung di BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) juga baru saja menggelar pertemuan. Jokowi ikut memberikan sejumlah usulan sebagai negara mitra di pertemuan tersebut.
"Itu (BRICS) emerging ekonomi yang juga dianggap mengancam G7, jadi dunia ini sedang berubah," kata Evi. Ekonomi dunia tak lagi bisa dikuasi G7 dan dinilai Evi melahirkan dilema di negara anggotanya.
G7 sudah mengakomodasi perkembangan dunia tersebut dengan membentuk G20, tapi tetap berusaha mendominasi di tengah Cina yang terus menguat. "Analoginya orang kaya yang sekarang mereka ga bisa mendominasi lagi, karena tetangga mereka juga lebih kaya lagi, kan menakutkan," ujar Evi.
Bahkan di internal G7 sendiri, ada juga negara seperti Jerman yang disebut Evi bermain dua kaki. Lantaran, Jerman tetap menjalin hubungan baik dengan Cina dan saling jadi mitra perdagangan terbesar.
Sehingga, kata Evi, menjadi masuk akal ketika Jerman berusaha menyelamatkan ekonomi mereka karena ternyata berhubungan ekonomi dengan Cina dinilai menguntungkan. "Di Eropa Jerman termasuk sering dimarahi negara Uni Eropa," kata Evi.
Maka jika negara barat di G7 pada akhirnya tetap memusuhi Cina, kata Evi, negara seperti Indonesia-lah yang diuntungkan. Sebab, Cina bisa menjadi lebih perhatian dan membuka pasarnya untuk Indonesia, juga negara ASEAN lainnya. "Jadi to some extent, kita diuntungkan dari persaingan ini, karena Cina jadi dekat dengan kita," ucap Evi.
Bahkan tak hanya Cina, negara G7 pun juga dinilai bisa dekat dengan Indonesia karena negara ini dilihat sama sekali tidak terlibat dalam persaingan negara-negara besar manapun. "Jadi yang penting kita (Indonesia) berusaha bertindak sesuai posisi kita aja, itulah kelebihan Indonesia," kata Evi.
Lebih lanjut, Jokowi tidak sendirian datang ke negara G7 mewakili Indonesia. Jerman yang menjadi Ketua G7 tahun ini juga mengundang negara mitra lain yaitu Argentina, India, Senegal, dan Afrika Selatan. Sebelum Jokowi dan para negara mitra hadir, G7 sudah memulai kegiatan.
Salah satu yang baru dibicarakan yaitu G7 berjanji menyediakan US$ 600 miliar atau Rp 8.878 triliun selama lima tahun untuk membiayai infrastruktur yang dibutuhkan negara-negara berkembang demi melawan proyek Belt and Road Initiative Cina bernilai triliunan dolar.
Program Belt and Road Initiative Cina memberikan pinjaman berupa proyek infrastuktur di negara berkembang mulai Pasifik, Asia hingga Afrika. Adapun pembiayaan US$ 600 miliar ini disampaikan G7 saat meluncurkan kembali program "Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, juga melihat relevansi kehadiran Jokowi di KTT G7 terhadap G20 di Indonesia. Ia menilai kehadiran Jokowi jadi momentum yang luar biasa, karena Jokowi bisa mengundang para pemimpin negara G7 di sana untuk menghadiri KTT G20 di Bali, November nanti.
"Ini kesempatan Indonesia melobi kepala negara tertentu, walau kita nggak bisa memaksa semua datang ke G20," kata Reza saat dihubungi, Sabtu, 18 Juni 2022.
Selain bisa mengundang pemimpin negara G7, Reza menyebut kehadiran Jokowi menjadi momentum luar biasa karena bisa mendapatkan hasil langsung dari pertemuan G7 yang diketuai Jerman ini. Itu sebabnya, hasil G7 bisa diteruskan di G20.
"Jokowi bisa langsung dapat masukan dari ketua penyelenggara yaitu Jerman. Jerman dengan kita lagi manis-manisnya ini," kata Reza. Sebab, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier juga baru ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Jerman, kata Reza, juga berkepentingan di kawasan Indo Pasifik yang dihuni 40 persen penduduk dunia dan berkontribusi pada 40 persen PDB dunia. "Jadi ini bagus untuk menciptakan suatu poros pembangunan masa depan baru, selama ini ke Cina Jepang, sekarang Jerman sekalian, ga akan ada yang tanya siapa Jerman," ujar Reza di kutip dari" tempo.co"