Medan,23 Oktober. Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan dinyatakan karena kealpaan yang mengakibatkan kematian seorang pelajar SMP; vonis dinilai oleh masyarakat sebagai titik evaluasi sistem penegakan hukum dan pengawasan internal TNI.
Baca Juga:
Eropa dan Ukraina Susun Proposal Gencatan Senjata, Libatkan AS sebagai Mediator Utama
1. Latar Belakang
Pada awal tahun 2025, publik dikejutkan oleh pemberitaan bahwa seorang pelajar SMP berinisial MHS (15 tahun), warga kota Medan, tewas setelah mengalami tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh seorang anggota TNI. Tindakan tersebut kemudian ditangani melalui mekanisme hukum militer karena pelaku adalah anggota aktif TNI. Kasus ini memantik kecaman publik dan pertanyaan seputar mekanisme pengawasan, akuntabilitas serta keadilan bagi warga sipil — terutama anak-anak — yang menjadi korban.
Baca Juga:
Amdal PT DPM Lulus Verifikasi Administrasi, Kini Menunggu Sidang Komisi di KLH
2. Fakta Perkara
Pelaku: Sertu Riza Pahlivi, anggota TNI yang berdinas di wilayah Kodam I/Bukit Barisan.
Korban: MHS (15), seorang pelajar SMP di Medan.
Kronologi (sesuai berkas persidangan):
Kejadian berlangsung di kawasan Medan (Sumatera Utara).
Korban dan pelaku dilaporkan terlibat insiden yang kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan fisik oleh pelaku terhadap korban.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami cedera serius dan kemudian meninggal dunia.
Pemeriksaan visum dan saksi menjadi bagian dari berkas perkara yang diajukan ke pengadilan militer.
Proses Hukum:
Kasus ini diajukan ke pengadilan militer karena pelaku adalah anggota TNI.
Sidang di Pengadilan Militer I-02 Medan dilakukan dengan menghadirkan saksi, pemeriksaan visum, dan pembuktian kealpaan pelaku.
Tuntutan Jaksa: (dalam persidangan) Jaksa penuntut militer sebelumnya menuntut pelaku dengan hukuman penjara yang lebih berat dari vonis yang kemudian dijatuhkan.
Putusan: Pada 21 Oktober 2025, majelis hakim Pengadilan Militer I-02 Medan menjatuhkan vonis 10 bulan penjarakepada Sertu Riza Pahlivi atas tindak kealpaan yang mengakibatkan kematian korban.
3. Pertimbangan Hukum dan Vonis
Dalam amar putusan, majelis hakim mempertimbangkan bahwa:
Pelaku terbukti melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, dengan akibat hilangnya nyawa korban — meskipun tidak terbukti rencana pembunuhan atau niat jahat yang terencana, melainkan kealpaan atau kelalaian yang mengarah pada kematian.
Adanya faktor-faktor meringankan atau belum terbukti unsur kesengajaan penuh turut mempengaruhi vonis.
Dengan demikian, majelis memutuskan hukuman penjara selama 10 bulan.
Vonis ini kemudian memicu perdebatan publik karena sebagian pihak menilai hukuman tersebut kurang setimpal dengan akibat yang ditimbulkan (kematian seorang pelajar), sementara pihak lain melihat bahwa sistem militer memiliki kaidah sendiri dalam pengadilan anggotanya.
4. Reaksi Pihak Terkait
Pihak TNI (Kodam I/Bukit Barisan / Pangdam):
– Dalam siaran pers yang dikeluarkan setelah putusan, pihak Kodam menyatakan menghormati proses hukum dan vonis yang dijatuhkan, serta akan mengevaluasi mekanisme pembinaan anggota agar kejadian serupa tidak terulang.
– Pernyataan resmi menyebut bahwa TNI memiliki komitmen untuk menjalankan nilai profesionalisme dan menjunjung tinggi hukum serta hak asasi manusia di lingkungan keprajuritan.
Keluarga Korban:
– Keluarga almarhum MHS menyampaikan keprihatinan mendalam dan mempertanyakan apakah vonis 10 bulan penjara sudah cukup untuk memberi keadilan bagi korban. Mereka juga memantau kemungkinan pengajuan banding oleh terdakwa atau pihak penuntut.
– Keluarga menegaskan bahwa kehilangan anak mereka tidak dapat digantikan dan menghimbau agar institusi terkait memperkuat perlindungan bagi pelajar dan anak-anak.
Publik / Komunitas Pengawas Hak Anak:
– Beberapa lembaga dan komunitas advokasi hak anak menilai vonis tersebut sebagai peluang untuk mengangkat kembali diskusi nasional tentang kekerasan terhadap anak, khususnya pelajar, serta pengawasan terhadap aparat yang melakukan pelanggaran.
– Mereka menuntut transparansi penuh dalam penanganan kasus ini, termasuk publikasi lengkap amar putusan dan langkah-langkah internal TNI untuk pencegahan.
5. Implikasi dan Rekomendasi
Impikasi:
Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan anggota TNI dan korban adalah pelajar di bawah umur — kombinasi yang memunculkan sensitivitas tinggi terkait penegakan hukum, perlindungan anak, dan akuntabilitas militer.
Vonis 10 bulan penjara memunculkan persepsi bahwa hukuman terhadap aparat yang melakukan pelanggaran terhadap warga sipil mungkin masih belum setara dengan yang terjadi di lingkungan sipil.
Tindakan korektif internal dalam institusi TNI akan menjadi kunci agar kepercayaan publik tidak terus menurun.
Rekomendasi untuk Institusi & Pemerintah:
Publikasikan amar putusan lengkap agar transparansi hukum terjaga.
Tinjau dan perkuat mekanisme pengawasan dan pembinaan anggota TNI yang berhubungan langsung dengan masyarakat, terutama anak-anak dan pelajar.
Tingkatkan pendidikan dan pelatihan internal terkait hak anak, komunikasi dengan masyarakat, dan pengendalian diri dalam situasi konflik.
Sediakan mekanisme pemulihan (recovery) bagi keluarga korban, termasuk psikososial dan akses keadilan administratif jika diperlukan.
Pantau apakah terdakwa atau penuntut mengajukan banding, dan publik harus diberi informasi perkembangan secara berkala.
Penutup
Putusan ini menandai salah satu momen penting dalam dinamika penegakan hukum di lingkungan militer Indonesia. Meskipun hukuman telah dijatuhkan, publik dan keluarga korban terus mengawasi apakah aspek keadilan, transparansi, dan pencegahan akan berjalan secara maksimal. Untuk media, penting untuk terus memantau proses selanjutnya — termasuk banding, langkah internal institusi, dan dampak jangka panjang bagi perlindungan pelajar dan masyarakat sipil.