Wahananews.co cIndonesia memiliki banyak potensi sumber daya alam (SDA) yang bisa dimanfaatkan untuk mendulang devisa negara, salah satunya adalah sarang burung walet. Komoditas ini pun perlu mendapat perhatian dan jangan sampai terlupakan.
"Memang topic walet memang selalu menarik," kata Ketua umum Perkumpulan Pengusaha Sarang Burung Indonesia (PPSBI) Boedi Mranata kepada CNBC Indonesia, Rabu (20/1/21).
Baca Juga:
Satu dari Dua Pelaku Pencurian Sarang Walet di Rokan Hilir Dibekuk Polisi
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pernah mengungkapkan bahwa nilai transaksi dari 'harta karun' ini mencapai Rp 500 triliun. Namun, untuk menghasilkan angka sebesar itu tidak mudah, Indonesia harus bisa mendapat izin agar komoditas ini bisa mulus tiba di negara tujuan. Negara yang paling besar menyerap ekspor sarang burung walet dari Indonesia adalah China.
Jalur resmi ke China ada 23 perusahaan. Ada lagi jalur yang nggak resmi, bisa lewat Hong Kong, Vietnam itu lebih besar, volume undervalue ini 4-5x lipat dari jalur resmi," sebut Boedi.
Perusahaan dengan penjualan melalui jalur resmi adalah eksportir yang sudah mengantungi Eksportir Terdaftar Sarang Burung Walet (ET-SBW). Jumlah perusahaan yang masuk kategori itu sangat kecil dibanding yang masuk lewat jalur tidak resmi alias black market. Perbedaan harganya cukup jauh.
Baca Juga:
Desa Wisata Kembang Kuning yang Menyimpan Kekayaan Alam dan Budaya
"Tanpa ET bisa aja, namanya nggak ada ketentuan bisa aja undervalue harganya sekitar Rp 600 ribu per Kg. Sedangkan yang ada ET kira-kira diambil rata-rata di atas Rp 20 juta/Kg,"
Alhasil, untuk meningkatkan devisa negara maka jumlah ekspor sarang burung walet harus lebih banyak yang melalui jalur resmi.
"Dengan diadakan ET maka harga-harga distandardisasi, nggak ada 600 ribu, mungkin per Kg Rp 10-15 juta, jadi akan melonjak devisa karena undervalue udah makin dikit. Itu yang dibahas Pak Lutfi, kalau dengan kebijakan ET maka devisa melonjak meskipun sebenarnya produksi sarang burung segitu aja.