Karawang, 1 November 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 menetapkan bahwa jaksa dapat diperiksa oleh aparat penegak hukum tanpa memerlukan izin dari Jaksa Agung. MK menilai, ketentuan yang mewajibkan izin tersebut bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Putusan ini menjadi tonggak baru dalam pengawasan terhadap aparat penegak hukum, khususnya jaksa.
Baca Juga:
Pemerintah Terbitkan Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025, Perkuat Tata Kelola Royalti Musik dan Lindungi Pencipta”
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 30C huruf i Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Sebelumnya, ketentuan itu mewajibkan adanya izin tertulis dari Jaksa Agung sebelum seorang jaksa dapat diperiksa oleh lembaga penegak hukum lain.
Melalui putusan ini, MK menyatakan ketentuan tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai membatasi pemeriksaan terhadap jaksa tanpa izin Jaksa Agung.
Baca Juga:
Gaya Bicara Anti-Eufemisme, Bamsoet Nilai Purbaya Robohkan Tembok Elitisme Ekonomi
Pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini meliputi:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai lembaga yang memutus permohonan uji materi konstitusional.
Para pemohon yang terdiri dari aktivis hukum dan advokat yang menilai aturan izin pemeriksaan tersebut menghambat penegakan hukum dan mencederai prinsip kesetaraan.
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi yang diatur oleh norma yang diuji.
Jaksa Agung Republik Indonesia yang sebelumnya memiliki kewenangan memberi atau menolak izin pemeriksaan terhadap jaksa.
Melalui putusan ini, MK menegaskan bahwa jaksa, sebagaimana warga negara lainnya, tidak memiliki kekebalan hukum (imunitas) dalam proses penegakan hukum.
Sidang pembacaan putusan perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025 digelar pada Kamis, 16 Oktober 2025, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Putusan tersebut berlaku sejak dibacakan dan akan dicatat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Putusan diambil dan dibacakan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, serta berlaku untuk seluruh wilayah hukum Indonesia.
Efek putusan ini bersifat nasional, mencakup semua lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan sendiri.
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan izin pemeriksaan dari Jaksa Agung:
Tidak sejalan dengan prinsip negara hukum, karena menimbulkan kesan bahwa jaksa memiliki kedudukan hukum yang lebih tinggi dari warga negara lain.
Berpotensi menghambat akuntabilitas dalam pengawasan dan penegakan hukum jika jaksa diduga melakukan pelanggaran pidana.
Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.
Hakim Konstitusi menjelaskan, “Kewajiban izin dari Jaksa Agung menciptakan ketimpangan di hadapan hukum. Semua warga negara, termasuk jaksa, seharusnya tunduk pada hukum tanpa pengecualian.”
Proses uji materi dimulai dari permohonan yang diajukan para aktivis hukum dan advokat pada awal tahun 2025.
MK kemudian melakukan serangkaian sidang pemeriksaan dengan menghadirkan saksi, ahli hukum tata negara, dan perwakilan pemerintah.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa:
Pengawasan internal Kejaksaan tetap diperlukan, tetapi tidak boleh menjadi tameng untuk menghindari proses hukum.
Mekanisme pemeriksaan terhadap jaksa tetap harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan menjunjung asas praduga tak bersalah.
Norma tentang izin pemeriksaan oleh Jaksa Agung diubah maknanya agar tidak menimbulkan diskriminasi hukum.
Kesimpulan
Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa setiap pejabat publik, termasuk jaksa, harus tunduk pada hukum dan dapat diperiksa oleh lembaga berwenang tanpa harus menunggu izin Jaksa Agung.
Keputusan tersebut memperkuat prinsip equality before the law dan menjadi langkah penting dalam memperkuat transparansi, akuntabilitas, serta integritas lembaga penegak hukum di Indonesia.